info@uinkhas.ac.id (0331) 487550

Studium Generale UIN KHAS Jember Bahas Otoritas Keagamaan di Era Modern dan Digital

Home >Berita >Studium Generale UIN KHAS Jember Bahas Otoritas Keagamaan di Era Modern dan Digital
Diposting : Rabu, 26 Nov 2025, 15:30:11 | Dilihat : 42 kali
Studium Generale UIN KHAS Jember Bahas Otoritas Keagamaan di Era Modern dan Digital


Dinamika otoritas keagamaan dalam Islam kembali menjadi bahan diskusi serius di UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember. Melalui Studium Generale bertajuk “The Rise of Islamic Movements in the Twentieth Century has Reconfigured Traditional Understandings of Religious Authority”, kampus ini menghadirkan ruang dialog akademik lintas negara pada Rabu, 26 November 2025.

Kegiatan yang berlangsung mulai pukul 08.30 WIB di BEC International Class Lantai 1 tersebut diselenggarakan secara luring dan daring. Sekitar 90 dosen dan mahasiswa UIN KHAS Jember mengikuti forum ini dengan antusias.

Dua narasumber utama dihadirkan. Dari Paris, hadir secara langsung Prof. Stéphane Lacroix, Guru Besar Sciences Po Paris. Sementara dari Jakarta, Dr. Ngatawi Al Zastrouw, dosen Fakultas Islam Nusantara UNUSIA, bergabung secara daring. Diskusi dimoderatori oleh AlFurqon, M.Th.I., Ph.D., dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora (FUAH) UIN KHAS Jember.

Dalam pembukaannya, Prof. Stéphane menyampaikan salam dalam bahasa Indonesia dengan gaya cair dan hangat. Ia mengaku senang dapat kembali berdiskusi dengan akademisi Indonesia meski harus mengombinasikan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam pemaparannya.

Prof. Stéphane menjelaskan bahwa perubahan besar dalam pemahaman otoritas keagamaan Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang sejak akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Pada fase tersebut, struktur otoritas Islam tradisional, yang selama berabad-abad bertumpu pada dua pilar utama, yakni institusi kekhalifahan dan ulama, mengalami tekanan hebat.

Menurutnya, kolonialisme Eropa di Timur Tengah tidak hanya bersifat militer dan politik, tetapi juga intelektual. Masuknya sistem hukum, pendidikan, dan pengetahuan sekuler ala Eropa secara perlahan meminggirkan peran institusi keagamaan tradisional, termasuk Al-Azhar di Mesir yang sebelumnya menjadi pusat produksi ulama.

Puncak krisis tersebut, kata Prof. Stéphane, terjadi pada 1924 ketika Mustafa Kemal Atatürk secara resmi menghapus institusi kekhalifahan. Sejak saat itu, otoritas keagamaan Islam kehilangan jangkar simboliknya. Kekosongan inilah yang kemudian melahirkan beragam gerakan Islam modern, mulai dari reformisme, salafisme, hingga gerakan politik Islam.

Ia juga menyoroti perubahan penting dalam mekanisme transmisi ilmu agama. Jika sebelumnya otoritas keilmuan dibangun melalui relasi panjang guru–murid, sanad, dan tradisi hidup, maka pada abad ke-20 muncul kecenderungan baru, yakni kembali langsung pada teks. Revolusi percetakan membuat kitab-kitab keislaman tersebar luas dan dapat diakses tanpa perantara ulama tradisional.

“Media baru selalu mengubah peta otoritas,” tegas Prof. Stéphane. Jika dahulu percetakan menggeser hierarki keagamaan, hari ini peran itu diambil alih media sosial yang bekerja dengan logika visibilitas, algoritma, dan popularitas.

Pandangan tersebut diperkuat oleh Dr. Ngatawi Al Zastrouw. Dalam pemaparannya, ia menempatkan pergeseran otoritas keagamaan dalam konteks masyarakat digital global. Menurutnya, perkembangan teknologi informasi (mulai dari media sosial hingga kecerdasan buatan) telah melahirkan apa yang ia sebut sebagai e-religion.

Di era digital, otoritas agama tidak lagi dimonopoli ulama atau institusi keagamaan formal. Kreator konten, influencer, bahkan figur tanpa latar belakang keilmuan agama yang memadai dapat tampil sebagai rujukan keagamaan karena kemampuan mereka mengemas pesan secara menarik dan masif.

Akibatnya, jelas Dr. Ngatawi, umat menghadapi krisis epistemic, yakni otoritas keagamaan yang dahulu berbasis keilmuan mendalam, sanad, dan tradisi kini sering tergeser oleh narasi populer yang minim kedalaman. Kontestasi wacana keagamaan pun menjadi semakin terbuka, cair, dan kerap memicu konflik narasi.

Ia menekankan perlunya transformasi politik dan dakwah Islam di era digital, dari orientasi simbolik dan romantik menuju kemaslahatan nyata bagi kemanusiaan. Otoritas agama, menurutnya, perlu direvitalisasi dengan menghadirkan figur-figur berilmu yang mampu memanfaatkan teknologi secara kreatif tanpa kehilangan substansi.

Sebagai tawaran konseptual, Dr. Ngatawi mengusulkan pendekatan Living Tradition, yakni upaya menghidupkan kembali relasi antara teks keagamaan dan tradisi sosial secara kontekstual, inovatif, dan relevan dengan generasi muda.

Studium generale ini menegaskan komitmen UIN KHAS Jember sebagai ruang akademik yang terbuka terhadap diskursus Islam global. Di tengah derasnya arus digitalisasi, forum ini menjadi pengingat bahwa otoritas keagamaan bukan sekadar soal popularitas, melainkan soal kedalaman ilmu, tanggung jawab sosial, dan relevansi sejarah. 

Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah 

;