info@uinkhas.ac.id (0331) 487550

Wakil Rektor III UIN KHAS Jember Tekankan Moderasi Beragama Berakar dari Falsafah Jawa

Home >Berita >Wakil Rektor III UIN KHAS Jember Tekankan Moderasi Beragama Berakar dari Falsafah Jawa
Diposting : Kamis, 20 Nov 2025, 11:38:31 | Dilihat : 70 kali
Wakil Rektor III UIN KHAS Jember Tekankan Moderasi Beragama Berakar dari Falsafah Jawa


Humas - Dialog Mahasiswa bertajuk Moderasi Beragama dan Nasionalisme Bangsa yang digelar Pusat Moderasi Beragama LP2M UIN KHAS Jember pada Rabu, 19 November 2025, berlangsung hangat dan penuh dinamika. Bertempat di Gedung B lantai 1 BEC UIN KHAS Jember, acara ini menghadirkan Wakil Rektor III UIN KHAS Jember, Dr. Khoirul Faizin, M.Ag, yang tampil sebagai narasumber dengan pembacaan kritis khas akademisi namun tetap jenaka dan membumi.

Dr. Faizin membuka pemaparannya dengan fakta, bahwa jauh sebelum negara ini berdiri, nilai-nilai moderasi telah hidup dalam praktik sosial masyarakat Nusantara, terutama di Jawa.

“Para leluhur kita sudah mengajarkan keseimbangan, keselarasan, dan penghormatan antarmanusia sejak berabad-abad lalu,” ujarnya, merujuk pada ajaran para Wali Songo abad ke-14 hingga ke-16 yang menanamkan etika keberagamaan tanpa menafikan keragaman budaya dan kepercayaan.

Dr. Faizin menyebut upaya Menteri Agama RI 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin sebagai tonggak penting dalam merumuskan kembali moderasi beragama secara konseptual di era kontemporer. Namun, ia menegaskan bahwa kerangka modern tersebut sejatinya hanya mengulang dengan bahasa baru, kearifan lama yang sudah menjadi laku hidup masyarakat Jawa.

“Semua agama pada dasarnya moderat,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa intoleransi bukan berasal dari ajaran agama, melainkan cara pandang pemeluknya. Karena itu, moderasi tidak ditujukan pada objek, tetapi pada subjek, yaitu manusia itu sendiri. Ia mengajak mahasiswa menelaah lima indikator moderasi beragama versi Kementerian Agama, lalu menautkannya dengan falsafah Jawa yang kaya dengan prinsip kehidupan harmonis.

Dalam penjelasannya, Dr. Faizin menghidupkan kembali istilah-istilah yang mungkin asing di telinga Gen Z. Ia menyebut kabèdhayen, sebuah falsafah yang menekankan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan sekaligus dengan sesama.

“Kalau kita lupakan falsafah ini, jangan-jangan kita justru kehilangan jati diri,” katanya.

Tidak berhenti di situ, Dr. Faizin mengutip memayu hayuning bawono, sebuah prinsip bahwa tanggung jawab sosial tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab personal. Setiap tindakan individu, menurutnya, harus mempertimbangkan dampaknya bagi lingkungan sosial.

Dr. Faizin juga menjelaskan konsep adil dalam perspektif Jawa, yang lebih luas dari sekadar memberikan hak sesuai porsi. Keadilan berarti menciptakan keseimbangan, harmoni, dan keselarasan sosial. Ia mengaitkannya dengan prinsip moderasi beragama, tidak ekstrem kanan, tidak ekstrem kiri, tetapi berada pada jalur tengah yang proporsional, bijak, dan berkeadilan.

Di bagian lain, ia menyinggung fenomena ideologi transnasional yang berupaya menggantikan Pancasila dan sistem kebangsaan Indonesia. Menurutnya, ideologi impor seperti itu gagal memahami bahwa keberagaman Indonesia adalah sebuah historical necessity, yakni sebuah keniscayaan sejarah yang telah dirancang oleh para leluhur sejak ratusan tahun lalu. 

“Indonesia tidak lahir sebagai kecelakaan sejarah. Ia didesain agar nyaman untuk semua,” ujarnya menegaskan.

Sesi materi ditutup dengan pengingat agar mahasiswa tidak mudah terjebak dalam polarisasi agama maupun politik yang sempit. Dr. Faizin menekankan pentingnya sikap nrimo, eling, lan waspada (menerima dengan bijak, sadar diri, namun tetap kritis dan berhati-hati). Ia mengajak peserta untuk memberi ruang bagi pendapat yang berbeda.

Dialog mahasiswa kali ini berhasil menyuguhkan pandangan segar tentang hubungan antara moderasi beragama, nasionalisme, dan kearifan lokal. Melalui pendekatan falsafah Jawa, Dr. Faizin menunjukkan bahwa moderasi bukan konsep asing, melainkan identitas lama yang hanya perlu dihidupkan kembali. Dan bagi puluhan mahasiswa yang hadir, pesan itu terasa relevan di tengah derasnya wacana keberagamaan yang kerap dipenuhi suara keras dan klaim-klaim absolut. 

Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah 

;