info@uinkhas.ac.id (0331) 487550

Wakil Rektor I UIN KHAS Jember Hadiri dan Beri Pesan Intelektual dalam Launching & Bedah Buku “Hari-hari Revolusi Indonesia”

Home >Berita >Wakil Rektor I UIN KHAS Jember Hadiri dan Beri Pesan Intelektual dalam Launching & Bedah Buku “Hari-hari Revolusi Indonesia”
Diposting : Selasa, 28 Oct 2025, 09:41:57 | Dilihat : 210 kali
Wakil Rektor I UIN KHAS Jember Hadiri dan Beri Pesan Intelektual dalam Launching & Bedah Buku “Hari-hari Revolusi Indonesia”


Humas - Suasana khidmat menyelimuti aula ketika lantunan doa dan ayat suci Al-Qur’an membuka acara Launching dan Bedah Buku “Hari-hari Revolusi Indonesia: Catatan Harian KH. Abdul Chalim Shiddiq”. Doa dan kalimat suci yang mengalun lembut menjadi pengingat akan akar spiritual yang menghidupkan perjalanan panjang para ulama pejuang.

Kegiatan yang digelar di bawah kolaborasi UIN KHAS Jember dan Pondok Pesantren Ashri ini bukan sekadar peluncuran buku, melainkan ziarah intelektual ke masa revolusi yakni ke saat pena dan perlawanan saling berpadu dalam diri seorang ulama, KH. Abdul Chalim Shiddiq.

Turut hadir dalam kegiatan tersebut yakni Wakil Rektor I UIN KHAS Jember, Prof. Dr. M. Khusna Amal, S.Ag., M.Si., Dan dalam sambutannya, beliau menegaskan makna historis dan ilmiah dari buku ini. “Catatan harian KH. Abdul Chalim Siddiq bukan sekadar dokumentasi pribadi, tetapi bukti bahwa tradisi menulis ulama adalah bentuk dakwah ilmiah yang kini mulai langka,” ujarnya.

Beliau menyebutkan bahwa di era media sosial yang serba cepat, warisan seperti ini menjadi pengingat pentingnya catatan tangan sebagai jejak keilmuan. “Para ulama dulu mencatat dengan hati, bukan hanya untuk mengingat, tapi untuk memberi arah bagi generasi sesudahnya,” tambah Prof. Amal.

Dalam kesempatan itu, Prof. Amal juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara perguruan tinggi dan pesantren dalam menghidupkan tradisi intelektual Islam. “Kerja sama ini bukan hanya akademik, tapi juga spiritual antara dunia kampus dan dunia santri yang sama-sama berakar pada ilmu dan pengabdian,” jelasnya.

Putra KH. Abdul Chalim Siddiq, Gus Muhammad Ayub Saiful Rijal, tampil dengan nada emosional. Ia menuturkan kisah ayahnya yang revolusioner dan berpikiran jauh melampaui zamannya. Salah satu visi besar Kiai Halim, katanya, adalah mendidik perempuan agar menjadi kiai putri, bukan sekadar istri seorang kiai, tetapi pemimpin keagamaan yang mandiri. 

Gus Ayub juga berbagi kisah keluarga Siddiq yang sarat warna, mulai dari sistem administrasi santri yang rapi hingga hubungan lintas budaya antara ayahnya dan seorang perempuan Belanda, yang menunjukkan keluasan pandangan dan keterbukaan pesantren masa itu.

Dalam sesi diskusi panel, Mas Ayung Notonegoro, pendiri Komunitas Pegon, menyingkap dimensi lain dari buku ini. Ia menyebut catatan harian KH. Abdul Chalim Siddiq sebagai “harta karun sejarah” yang merekam denyut revolusi di Tapal Kuda, Jawa Timur.

“Dalam setiap lembarannya, kita menemukan semangat jihad, strategi perjuangan, bahkan bahasa sandi yang digunakan untuk menyelamatkan pesan-pesan rahasia dari pihak penjajah,” tutur Mas Ayung.

Sementara itu, Gus Rizal Mumaziq, Rektor Universitas Alfalah Assuniyah, menguraikan jaringan perjuangan Kiai Halim yang terhubung dengan milisi dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama di masa revolusi. Ia menegaskan bahwa sejarah perjuangan lokal seperti yang ditulis Kiai Halim layak ditempatkan dalam arus utama historiografi nasional.

Panel turut menghadirkan refleksi dari para pendidik dan alumni Pesantren Asri. Sejarawan Ibu Ratna memaparkan tentang aksara Pegon sebagai simbol kecerdasan Islam Nusantara. Ia menekankan, “Pegon bukan sekadar huruf, tetapi jembatan antara ilmu, budaya, dan identitas bangsa.”

Ia juga menggarisbawahi warisan pesantren perempuan yang digagas KH. Abdul Chalim Siddiq sebagai wujud kesetaraan gender dalam pendidikan Islam sejak awal abad ke-20.

Acara ditutup dengan refleksi mendalam, bahwa perjuangan tak hanya di medan perang, tapi juga di ruang sunyi tulisan. Catatan harian KH. Abdul Chalim Siddiq menjadi bukti bahwa ulama bukan hanya pemimpin spiritual, melainkan juga saksi sejarah, pemikir sosial, dan penjaga peradaban.

Buku Hari-hari Revolusi Indonesia kini menjadi lebih dari sekadar teks, ia adalah ingatan kolektif tentang bangsa yang lahir dari tinta dan doa. Dan Prof. Amal mengingatkan, “Menulis adalah bentuk perjuangan paling tenang, tapi paling abadi.” 

Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah 

;