Serial Kajian Ekoteologi 6: Ketika Egrang Menjadi Bahasa Dakwah
Humas - Jum'at siang, 10 Oktober 2025, ruang rapat Rektorat Lantai 1 UIN KHAS Jember tak lagi hanya sekadar tempat diskusi akademik. Ruang itu menjelma menjadi jendela menuju desa, tempat nilai-nilai hidup, budaya, dan ekoteologi tumbuh dari tanah, dari bambu, dan dari tawa anak-anak.
Serial Kajian Ekoteologi ke-6 ini menghadirkan Dra. Farha Ciciek, M.Si., pendiri Tanoker Ledokombo, Jember. Dengan suara tenang namun penuh daya hidup, ia mengajak peserta menyelami kembali makna perubahan sosial dari desa. “Misi kami sederhana,” katanya membuka materi. “Dakwah bil egrang, menjadikan egrang sebagai alat perubahan sosial.”
Dra. Farha mengawali dengan mengingatkan hak-hak anak yang sering luput dari percakapan pembangunan. “Menyahut hasrat bocah,” ujarnya, “Berarti memberi ruang bagi mereka untuk bermain. Karena bermain itu bukan ‘main–main’.” Bagi komunitas Tanoker, egrang bukan sekadar permainan tradisional. Ia adalah ruang belajar. “Playing is a learning for a better living,” tulisnya dalam misi gerakan. Melalui bambu, anak-anak belajar keseimbangan, keberanian, dan kolaborasi. Bambu menjadi panggilan untuk peduli lingkungan, karena setiap batangnya tumbuh dari tanah yang sama yang mereka pijak.
“Mujahid mujahidahnya terutama anak-anak,” kata beliau. Kalimat itu bergema di ruang rapat rektorat. Selama ini, anak-anak di desa sering dianggap kecil, tak punya suara. Kultural dan struktural, mereka kerap terlupakan. Tapi suara itu kini bergema lewat denting gendang, sorak-sorai, dan tarian egrang di atas bambu.
Di atas egrang, anak-anak tidak sekadar bermain. Mereka menuntut perhatian. Mereka menjadi pusat panggung. “Metamorfosis di atas bambu menari,” ujar Farha puitis. Dari ruang kecil di Ledokombo, suara itu menjangkau dunia, yakni glokal (global tapi tetap lokal).
Bagi Tanoker, bambu adalah bahasa ekoteologi. Melalui bambu, anak-anak belajar nilai-nilai hidup, mengenai kebersamaan, keseimbangan, keberlanjutan. Mereka bersholawat di atas egrang, berpuisi, menyanyi, menari, masuk televisi, tampil di festival berulang kali. Dukungan mengalir mulai dari masyarakat, akademisi, pemerhati lingkungan, hingga pejabat pemerintah.
Kisah ini bukan sekadar tentang egrang atau festival budaya. Ini tentang bagaimana sebuah permainan sederhana mengajarkan nilai besar tentang kemanusiaan dan lingkungan. Tentang bagaimana desa, dengan segala kesederhanaannya, menyimpan kebijaksanaan ekologis yang kerap tak tersentuh oleh kebijakan pusat.
Serial kajian ekoteologi ini menjadi ruang penting bagi sivitas akademika UIN KHAS Jember untuk belajar dari pengalaman nyata masyarakat desa. “Desa bukan objek, tapi guru,” ujar salah satu peserta diskusi, Jauhari Insiyah, M.Stat.
Dari egrang dan bambu, dari tawa anak-anak, lahirlah narasi ekoteologi yang membumi. Dakwah tidak selalu harus lewat mimbar dan teks namun kadang, ia hadir lewat bambu, permainan, dan semangat hidup anak-anak kecil yang tak mau lagi dianggap “kecil”.
Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah




