Merawat Bumi dari Kampus: Serial Kajian Ekoteologi Seri 5 Bahas Penguatan Green Campus
Humas - Suasana ruang rapat Rektorat Lantai 1 UIN KHAS Jember pada Kamis (9/10/2025) siang terasa lebih teduh dari biasanya. Aroma diskusi ilmiah yang sarat gagasan tentang lingkungan mengalir hangat hingga sore hari. Para dosen dan akademisi dari berbagai fakultas duduk melingkar, bukan sekadar untuk mengikuti kegiatan rutin, melainkan untuk merancang cara pandang baru tentang bagaimana kampus bisa ikut menjaga bumi.
Forum itu bertajuk “Serial Kajian Ekoteologi Seri 5: Penguatan Ekoteologi dalam Pengembangan Green Campus.” Tema yang mungkin terdengar sederhana, namun menyimpan visi besar: menjadikan kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang hidup yang selaras dengan alam.
Wakil Rektor I UIN KHAS Jember, Prof. Dr. M. Khusna Amal, S.Ag., M.Si., membuka forum dengan penekanan yang kuat. Baginya, green campus bukan jargon semata, melainkan cita-cita kolektif kampus untuk menjadi ruang akademik yang sejuk, lestari, dan berkelanjutan.
“UIN KHAS Jember dikenal sebagai kampus hijau. Tapi kita tak ingin berhenti pada sebutan. Kita ingin kampus ini hijau seutuhnya dengan memiliki lingkungan asri, ruang terbuka hijau yang representatif, dan tidak mengalami krisis sumber mata air,” ujar beliau. Pernyataan itu seolah menjadi pijakan untuk diskusi yang lebih dalam tentang masa depan ekoteologi di dunia pendidikan tinggi Islam.
Sebagai narasumber utama, Prof. Luchman Hakim, S.Si., M.Agr.Sc., Ph.D., Direktur Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) Universitas Brawijaya, membawa peserta menjelajahi lanskap isu-isu ekologis global dan spiritualitas ekologis. Dengan cara bertutur yang tenang namun tajam, ia mengurai satu demi satu tantangan ekologis yang membayangi bumi: perubahan iklim, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, deforestasi, dan kerusakan ekosistem.
“Isu-isu ini bukan lagi sekadar data ilmiah, tapi alarm kehidupan,” ujar Prof. Luchman. Beliau menyoroti bagaimana industrialisasi masif, penggunaan energi fosil, pertumbuhan sektor pertanian, dan pola konsumerisme global telah menciptakan jejak ekologis yang berat bagi bumi. Efeknya pun tak main-main: peningkatan suhu global, cuaca ekstrem yang tak lagi mudah diprediksi, hingga degradasi tanah dan punahnya spesies.
Namun, Prof. Luchman tak berhenti pada statistik dan analisis kering. Ia mengajak para peserta melihat dimensi lain yakni spiritualitas ekologis. Dalam paparannya, ekospiritualitas dipahami sebagai praktik spiritual yang menekankan keterhubungan mendalam antara manusia, makhluk hidup lain, dan kesucian alam. “Ekoteologi bukan hanya soal lingkungan, tapi tentang cara kita menaruh hormat dan rasa takjub terhadap ciptaan,” katanya.
Menurutnya, pendekatan ini mampu menjadi penyeimbang dari paradigma antroposentris, cara pandang yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Ekoteologi justru mengingatkan bahwa manusia adalah bagian dari jejaring kehidupan yang lebih luas. Karena itu, krisis lingkungan seharusnya ditanggapi bukan hanya lewat teknologi dan kebijakan, tetapi juga dengan kesadaran spiritual dan etika ekologis.
Diskusi pun melebar ke berbagai pendekatan ekologi religius dan spiritual, mulai dari mengidentifikasi pendekatan teologis terhadap alam dalam tradisi keagamaan, praktik keagamaan ramah lingkungan, hingga respons terhadap isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim dan keadilan ekologis.
Prof. Luchman menegaskan, kampus memiliki posisi strategis. “Pendidikan tinggi bisa menjadi laboratorium sosial untuk perubahan ekologis,” ujarnya. Dengan riset, kurikulum, dan praktik keseharian yang ramah lingkungan, kampus dapat menjadi contoh nyata penerapan nilai-nilai ekoteologi dalam kehidupan modern.
Menjelang sore, diskusi semakin hidup. Para dosen UIN KHAS Jember berbagi kegelisahan, sekaligus optimisme. Mereka membayangkan kampus tempat mereka mengajar kelak benar-benar menjadi ruang belajar yang bersahabat dengan bumi, dimana pepohonan rindang bukan sekadar latar pemandangan, melainkan bagian dari sistem nilai yang hidup.
Serial Kajian Ekoteologi ini menjadi ruang pertemuan antara ilmu, kesadaran ekologis, dan nilai-nilai spiritual. Sebuah ikhtiar kecil dari kampus di sudut Jember, namun dengan gema visi yang besar yakni menjadikan bumi sebagai rumah bersama yang harus dirawat dengan cinta.
Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah




