info@uinkhas.ac.id (0331) 487550

Dr. Nur Kafid: “Sampling Design adalah Seni Menemukan Pola dalam Kerumunan”

Home >Berita >Dr. Nur Kafid: “Sampling Design adalah Seni Menemukan Pola dalam Kerumunan”
Diposting : Minggu, 19 Oct 2025, 19:13:34 | Dilihat : 195 kali
Dr. Nur Kafid: “Sampling Design adalah Seni Menemukan Pola dalam Kerumunan”


Humas - Sore itu, hawa dingin Prigen merambat pelan di antara kursi-kursi kayu Kampung Kopi Jatiarjo. Tiga puluh dosen UIN KHAS Jember duduk menyimak, beberapa mencatat, sebagian lain mengangguk pelan. Di hadapan mereka berdiri Dr. Nur Kafid, S.Th.I., M.Sc., Kasubdit Litapdimas Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. Materi sore itu: Sampling Design.

“Sampling design itu seni memilih sebagian kecil dari kerumunan untuk mewakili suara besar,” ujar Dr. Nur Kafid membuka pemaparannya, Jumat sore, 17 Oktober 2025.

Ia memulai dengan kisah klasik Literary Digest pada 1920-an, survei kartu pos yang sempat dianggap sebagai mahakarya peramalan politik, namun berubah jadi pelajaran besar ketika pada 1936, dari 10 juta responden, prediksi mereka justru meleset. “Sementara George Gallup, dengan teknik quota sampling yang lebih presisi, justru benar,” katanya. Para dosen terkekeh kecil, sejarah memang kadang lebih cerdas dari teknologi.

Dalam paparannya, Nur Kafid menjelaskan population, sample, dan sampling frame dengan cara yang sederhana namun tajam. Ia mengibaratkan populasi sebagai “lahan luas”, sampel sebagai “petak kecil yang dipelajari”, dan sampling frame sebagai “peta” yang menjadi acuan.

“Peneliti yang baik tahu kapan harus turun langsung ke sawah, dan kapan cukup membaca peta dengan cermat,” ujarnya, disambut tawa kecil para peserta.

Ia menekankan tiga alasan utama mengapa sampling menjadi jantung penelitian sosial, yakni efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Namun, ia juga tak lupa memperingatkan: “Jika desainnya salah, hasilnya bisa menyesatkan.”

Tak hanya konsep, Dr. Nur Kafid membawa peserta menyelam lebih dalam ke dunia perhitungan statistik. Contohnya sederhana namun mencengangkan, dari populasi 4.641, dengan margin of error 3 persen, hanya dibutuhkan sekitar 900 responden untuk menggambarkan seluruh populasi. “Inilah kekuatan desain,” ujarnya.

Para peserta pun diajak menelusuri berbagai jenis teknik sampling: random, systematic, stratified, cluster, hingga multi-stage. Masing-masing dijelaskan bukan sekadar definisi, tapi juga konteks aplikasinya di dunia riset Islam dan ekoteologi (bidang yang menjadi latar bootcamp ini).

Materi ini bukan hadir dalam ruang hampa. Bootcamp bertajuk Workshop Ecotheology Studies: Multidisciplinary Approaches ini memang didesain untuk membekali para dosen dengan metodologi riset lintas bidang. Di antara semilir udara lereng gunung, sampling design terasa menemukan rumahnya, sebuah jembatan antara data dan realitas.

“Dalam riset lingkungan berbasis agama, peneliti tak hanya mencari angka, tapi pola perilaku manusia dalam merawat bumi,” tutur Nur Kafid.

Ia juga menyinggung pentingnya memilih teknik sampling sesuai konteks sosial, biaya, dan ketepatan yang ingin dicapai. Bagi penelitian berbasis komunitas pesantren atau masyarakat lokal, misalnya, cluster atau snowball sampling bisa lebih relevan daripada teknik random murni.

Materi berakhir, tetapi diskusi tak langsung bubar. Beberapa dosen masih mengerubungi Dr. Nur Kafid, melontarkan pertanyaan tentang penelitian ekologi berbasis Islam. Di sudut aula terbuka, kopi robusta Prigen mengepul. Sore pun menjadi laboratorium kecil tempat metode penelitian dipertemukan dengan semangat perubahan.

“Sampling bukan sekadar angka,” ucap Nur Kafid sebelum menutup materinya. “Ia cara kita mendengar suara semesta dengan telinga ilmiah.” 

Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah 

;