info@uinkhas.ac.id (0331) 487550

“ABDI”: Makna Pengabdian Versi Rektor UIN KHAS Jember

Home >Berita >“ABDI”: Makna Pengabdian Versi Rektor UIN KHAS Jember
Diposting : Jumat, 10 Oct 2025, 15:25:51 | Dilihat : 135 kali
“ABDI”: Makna Pengabdian Versi Rektor UIN KHAS Jember


Humas - Jumat pagi, 10 Oktober 2025, ruang rapat Rektorat Lantai 1 UIN KHAS Jember berubah menjadi ruang refleksi intelektual. Deret kursi tersusun rapi, Smart TV menyala, dan diskusi mengalir hangat di antara puluhan dosen yang mengikuti kegiatan Peningkatan Kapasitas Metodologi Pengabdian Berbasis Penelitian Responsif Gender bagi Dosen yang digelar oleh Pusat Studi Gender dan Anak Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M).

Rektor UIN KHAS Jember, Prof. Dr. H. Hepni, S.Ag., M.M., menjadi sosok pertama yang membuka cakrawala pemikiran para peserta. Dalam sambutannya, beliau tidak sekadar menyebut pengabdian sebagai kewajiban tridarma. Namun mengembalikannya pada makna dasar, yakni peduli, berbagi, dan kasih sayang.

“Pengabdian itu berasal dari kata ABDI,” ujar beliau mantap. “Afirmasi, memberi kemudahan pada orang lain. Brave, berani menghadapi tantangan. Dedikatif, mengabdi penuh totalitas. Dan Inspiratif, memberi teladan serta semangat bagi sesama.”

Makna ABDI itu bukan sekadar akronim, melainkan arah kompas bagi para dosen untuk membumikan ilmu mereka di tengah masyarakat.

Di samping Rektor, hadir pula Wakil Rektor I Prof. Dr. M. Khusna Amal, S.Ag., M.Si., Ketua LP2M Dr. Zainal Abidin, M.Si., serta narasumber utama, Dr. Mohammad Mahpur, M.Si. Diskusi hari itu mengupas sebuah pertanyaan penting: Mengapa responsif gender menjadi keharusan dalam pengabdian masyarakat?

Dr. Mahpur membuka paparannya dengan tajam. Menurutnya, pengabdian masyarakat harus melampaui bentuk bantuan karitatif semata. “Kita perlu membongkar ketidakadilan struktural yang selama ini membatasi perempuan dan kelompok marginal,” ujarnya. “Intervensi bukan sekadar memfasilitasi, tapi memulihkan peran yang secara historis dimiliki perempuan.”

Ia mengingatkan para dosen bahwa dalam sejarah etnografi Indonesia, perempuan bukanlah pelengkap. Mereka pernah menjadi pusat pengambilan keputusan, yakni dari pengelolaan sumber daya alam dan pertanian, diplomasi lokal, hingga kepemimpinan dalam kehidupan komunitas. “Warisan ini harus dipahami kembali sebelum kita merancang program pemberdayaan,” katanya.

Diskusi berkembang menjadi ruang belajar bersama. Dr. Mahpur mengurai langkah konkret dalam membangun metodologi pengabdian responsif gender. Pertama, prioritaskan perspektif Perempuan, berikan ruang aman bagi mereka untuk bersuara, misalnya lewat focus group discussion terpisah atau wawancara mendalam. Kedua, melampaui peran stereotip, pastikan program tidak memperkuat pembatasan tradisional, melainkan membuka akses terhadap sumber daya baru. Ketiga, analisis data yang tersegmentasi, perhatikan jenis kelamin, usia, dan kelas sosial untuk menangkap ketimpangan yang kerap tersembunyi. Keempat, identifikasi struktur kuasa, fokus bukan hanya pada output, tapi juga pada siapa yang mengontrol sumber daya dan proses pengambilan keputusan, outcome yang sesungguhnya.

Pertanyaan demi pertanyaan dari para dosen mengalir. Diskusi berlangsung hangat. Banyak dari mereka merefleksikan pengalaman lapangan yang sering kali menyentuh, tapi luput dari lensa keadilan gender.

Menjelang siang, sesi ditutup dengan sebuah pernyataan kuat dari sang narasumber. “Pengabdian masyarakat yang berbasis riset responsif gender adalah jembatan menuju keadilan,” ujarnya. “Keadilan di mana setiap individu—laki-laki maupun perempuan—memiliki ruang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.”

Pesan itu seolah menjadi gema dari akronim ABDI yang digaungkan Rektor di awal sesi. Bahwa pengabdian bukan sekadar proyek, melainkan laku hidup. Ia menuntut keberanian, totalitas, dan keikhlasan. Ia bukan tentang siapa yang lebih kuat, tapi tentang siapa yang mau peduli. Kegiatan ini bukan hanya pelatihan metodologi. Ia adalah langkah kecil tapi bermakna dalam membangun paradigma baru yakni pengabdian yang lebih manusiawi, adil, dan inklusif.

Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah

;