info@uinkhas.ac.id (0331) 487550

30 Dosen UIN KHAS Jember Menyelami Laku Ekoteologi Masyarakat Jatiarjo Lewat Observasi Lapangan

Home >Berita >30 Dosen UIN KHAS Jember Menyelami Laku Ekoteologi Masyarakat Jatiarjo Lewat Observasi Lapangan
Diposting : Minggu, 19 Oct 2025, 15:10:09 | Dilihat : 141 kali
30 Dosen UIN KHAS Jember Menyelami Laku Ekoteologi Masyarakat Jatiarjo Lewat Observasi Lapangan


Humas - Suara ayam bersahutan dengan lantunan ayat Al-Qur’an dari surau kecil di tengah Desa Jatiarjo, Prigen, Pasuruan. Jumat pagi, 17 Oktober 2025, suasana desa yang tenang itu berubah menjadi ruang belajar terbuka bagi 30 dosen UIN KHAS Jember. Satu per satu mereka menyebar ke gang-gang kecil, menyapa warga, masuk ke musholla, sekolah, hingga rumah penduduk, bukan untuk memberi ceramah, melainkan belajar langsung dari denyut kehidupan desa.

Kegiatan ini adalah bagian dari Workshop Ecotheology Studies: Multidisciplinary Approaches, kegiatan dengan format bootcamp ekoteologi selama empat hari yang mengajak peserta keluar dari ruang kelas dan menyelam ke kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah memahami bagaimana air, iman, budaya, dan perilaku sehari-hari warga saling membentuk ekosistem ekologis di desa.

“Ekoteologi tidak cukup dibicarakan dalam ruang akademik,” ujar Fainta Susilo Negoro, Pendiri dan Chairperson Jaga Semesta Foundation, yang mendampingi langsung kegiatan ini. “Ia harus dihirup dari udara desa, dari percakapan warga, dari jejak sehari-hari.”

Sebanyak 30 peserta dibagi dalam lima kelompok observasi. Setiap kelompok punya fokus, panduan, dan target temuan sendiri.

Kelompok pertama, misalnya, mencatat peta sumber air desa: dari sumur, irigasi, hingga mata air yang menghidupi ladang. Mereka juga menggali keyakinan lokal seperti larangan dan ritual kecil yang menjaga keseimbangan alam.

Kelompok kedua menyusuri jejak aktivitas manusia, yakni dari pertanian, limbah rumah tangga, hingga kebiasaan membakar sampah. Pertanyaan mereka sederhana namun tajam tentang siapa yang paling rentan saat air kering atau tercemar?

Sementara itu, kelompok ketiga membuka pintu dimensi spiritual. Mereka berbincang dengan ustadz dan tokoh masyarakat, mendengar doa-doa yang menyebut air sebagai berkah Tuhan. Seorang ustadz di serambi musholla menyampaikan bahwa menjaga alam merupakan bagian dari ibadah.

Kelompok keempat memetakan pola hidup dan ketahanan air seperti cara warga menghemat air di musim kemarau, parit-parit kecil penyalur air, hingga kesepakatan tak tertulis antarwarga soal pembagian sumber.

Sedangkan kelompok kelima merekam suara perubahan dan harapan. Warga bercerita tentang sumber air yang dulu melimpah kini mulai menipis, dan tentang keinginan sederhana mereka agar anak cucu kelak tetap bisa minum dari mata air yang sama.

Siang menjelang, para peserta kembali berkumpul di aula terbuka Kampung Kopi Jatiarjo. Hasil observasi dibentangkan dalam bentuk peta, diagram, kutipan warga, dan narasi reflektif. Diskusi antar kelompok berlangsung cair, namun tajam.

Dari bahan mentah lapangan itu, para dosen akan menuliskannya menjadi artikel ilmiah popular, sebuah upaya menggabungkan riset, narasi, dan suara masyarakat. “Yang terpenting bukan hanya data,” kata Fainta. “Tapi bagaimana kita mendengar bumi berbicara lewat masyarakatnya.” 

Penulis: Atiyatul Mawaddah
Editor: Munirotun Naimah 

;